Rabu, 28 Desember 2011

S.E.T.I.A

Aku sedang berpikir tentang makna kesetiaan. Apa makna setia? mengapa seseorang bisa setia?
Kesetiaan macam apa yang mereka miliki? demi jilbab mereka rela dikeluarkan dari sekolah. Demi membela yang haq, kesetiaannya pada syari’at Allah membuat keberanian mereka tak lekang. Pendapat ekstremisitas jilbab berhasil mereka dobrak. Atas idealisme dan kesetiaan mereka pula kini kita dapat berjilbab dengan bebasnya.
Setia, saat satu sms saja sudah dapat menggerakkan seribu orang untuk berkumpul dan berpadu. Demi menggulingkan tiran yang telah berkuasa berpuluh tahun, juga dengan menggunakan bis tumpangan yang entah bagaimana nanti pulang, mereka berdiri di bawah jembatan semanggi. Berpadu dengan mahasiswa lainnya untuk menyuarakan jeritan hati revolusi. Takbir terpekik, semangat terbakar. Setia, hingga menyadari bahwa tingkatan jihad paling tinggi adalah menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang dzolim.
Juga setia, saat mereka yang tak pernah dibayar sepeserpun, rutin mengadakan balai pengobatan di RT RW. Melayani masyarakat demi masyarkat yang datang. Berusaha untuk memberitahu lewat perilaku, bahwa seorang muslim semestinya bermanfaat. Atau pula saat bencana gempa dan tsunami. Saat masyarakat telah kehilangan segalanya, mereka mengingatkan bahwa hal yang paling pertama yang harus mereka lakukan adalah mendekatkan diri kepada Allah.

Hanya kesetiaan yang mampu menyentuh hati. Saat hari demi hari ia habiskan dengan berjalan kaki. Uang di kantong telah habis digunakan untuk memfotokopi buletin Jum’at, juga buletin Fakultas. Tak ada teman yang tau, hanya sendal bututnyalah yang bicara.
Menurutku kesetiaan pada amanah pun adalah kesetiaan..
Mengapa setiap pekan ia rela menempuh jarak Sumatera-Jawa dengan menaiki bis estafet, demi memberikan ta’lim selama dua jam saja? Setiap pekan demikian. Padahal yang ia bina hanya satu lingkaran, itu pun kurang dari sepuluh orang. Namun ia selalu yakin, bahwa sepuluh orang ini yang akan menjadi duta-duta da’wah seperti Mush’ab bin Umair. Di saat media elektronik tak secanggih sekarang, kesetiaannya lebih canggih dari apapun. Siapa yang hatinya tak tersentuh jika memiliki guru seperti itu.
Lalu mengapa ia bisa setia? Di surau-surau kecil itu, memahat jiwa-jiwa pembaharu. Murid-murid putih abu dengan kepulan semangat masa muda. Tanpa pamrih, tanpa gelar, tanpa ada yang tau. Hari demi hari ia lalui dengan senang. Menjelaskan ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, ma’rifatulqur’an, ma’rifatul insan dengan sederhana. Membuat sang murid bangga atas identitas keislamannya. Hingga akhirnya sang murid pun memiliki murid, kemudian murid sang murid pun memiliki murid, begitu seterusnya. Hingga dengan kesetiaan ia berhasil membangun imperium da’wah thullabi.
Saat semua orang datang dan pergi, hanya ia yang tetap berada di tempat. Saat amanah da’wah terasa berat, di saat banyak yang meragukan keberhasilan, hanya ia yang tetap yakin bahwa pertolongan Allah akan membuat amanah ini terlaksana. Dan ternyata benar adanya, idza jaa anashrullahi wal fath.. bahwa orang-orang akan berbondong-bondong bergabung bersama kita saat kemenangan tiba.
Kesetiaan, saat mereka rapat setiap hari membicarakan masa depan da’wah. Bagaimana mengembangkan da’wah ini dan juga bagaimana membuat generasi selanjutnya dapat lebih baik dari mereka.
Setia, saat engkau tak rela mengikuti hawa nafsumu sendiri atas hal-hal yang engkau senangi. Karena engkau terlanjur tersibghoh hidayah, juga kerena perilakumu akan dicontoh oleh generasi-generasi setelahmu.

Maka setia, saat engkau bertahan untuk menyelesaikan amanahmu sampai akhir. Dengan sesempurna mungkin ikhtiar, tanpa keraguan bahwa suatu saat dengan izin Allah semua ini akan membuahkan hasil.

Dan tak ada yang menandingi kesetiaan Rasulullah pada amanahnya. Di akhir hayat pun ia berkata, Ummati.. ummati.. ummati..
Setialah kepada mimpi, maka bertahanlah terhadap rasa sakit (Zainiyah Rizkita A.).

Jika kita tak memiliki kesetiaan seperti para pendahulu. Setialah pada amanah kita. Sungguh kekuatan seseorang tidak dilihat pada besar kecilnya amanah yang ia emban. Juga tak dilihat dari jabatan apa yang sudah ia pangku. Melainkan sejauh apa ia berhasil menghasilkan epik atas kesetiaannya pada amanah. Karena kesetiaan adalah pasangan dari keimanan, begitu pula sebaliknya.

Jangan jadi aktivis kutu loncat, yang berpindah dari satu amanah ke amanah lain tanpa menyelesaikan satupun darinya dengan baik. Setialah seperti kiper yang terus berada di depan gawang apapun yang terjadi, dengan atau tanpa adanya bola. Karena jika amanahmu adem ayem saja, itupun pertanda sesuatu tak beres terjadi, yaitu tak ada perkembangan ke arah yang lebih baik.

Setialah..
Terinspirasi dari tulisan berikut,
“Apa pun amanah dan peran yang engkau miliki, sekecil apa pun itu, kesetiaan akan membuatnya menjadi besar di mata Allah. Kisahnya akan menjadi epik yang diambil pelajaran serta hikmahya oleh orang-orang setelahmu. Tidak ada batu yang tidak akan berubah menjadi permata, jika engkau memahatnya dengan kesetiaan. Tidak ada seng yang tak akan berubah menjadi emas, jika engkau menempanya dengan kesetiaan. Karena kesetiaan ialah pasangan keimanan."

*diselesaikan senin, 141111, kajian BDM AL HIKMAH

Tidak ada komentar: